LAKI-LAKI
JANGKUNG DI PUCAK BERKABUT
Afdholifah
Ainunia Hago
Senja itu, aku sedang menikmati
secangkir teh manis dan beberapa potong kue. Aku sangat mekimati langit sore
dengan orangenya dan membaca novel yang kugenggam. Novel ini menemenani hari
Sabtuku yang kosong. Tak kusangka, novel yang sedang ku baca ini akan menjadi
realita di hari esok. “Kembali karena Rindu”.
Beberapa
menit berlalu. Aku semakin terbuai dalam cerita ini. Cerita tentang seorang
laki-laki urak-urakan yang kembali pada pelukan gadis desaanya karena rindu. Ya
hanya karena rindu yang tak bisa ditahannya lebih lama lagi. Berselang beberapa
lama, kurasakan handphoneku bergetar, membuyarkan secara cepat suasana yang
sudah kuserap dengan sempurnanya dari novel ini. Hoho, rupanya ada satu pesan
baru. Dan wajahku berubah seketika.
“Hai apa
kabar?”
Yang mengsms tak bernama. Kujawab singkat saja.
“Baik. Maaf ini siapa?”
“Satrya J”
Ku putar balik memori sejenak. Dan, ah yaa! Satrya. Laki-laki
itu.
“Oh iya. Aku
mengingatmu”
“Syukurlah. Aku mengira amensia
sudah membuang separuh ingatanmu. Mungkin aku ada di dalam ingatan yang
terbuang itu.”
Aku
sedikit ganjil dengan isi pesan yang satu itu.
“Mungkin
tidak dan bisa jadi iya”
“Aku mungkin memahami maksudmu. Besok
aku ingin mengajakmu ke tempat berkabut. Bisa?”
“Baik aku bisa.” Sangat yakin aku menjawab. Dan aku tidak tau kenapa
dengan yakin menjawab seperti itu.
“Besok
aku menjemputmu. Rumahmu masih di tanah yang sama, kan?”
“Haha. Kalaupun aku sudah pindah,
tentu saja masih di atas tanah. Baik aku akan menunggu jam 9. See ya.”
Dan
entah kenapa, atmosfer hati berubah 100 persen menjadi campur aduk. Gugup mulai
mendera. Dan aku bingung kenapa harus merasakan gugup. Aku hanya akan
berjalan-jalan bersamanya ke dalam kabut. Ya bersama dia dari masa lalu.
Dalam
perjalanan hanya diam mengikat kami. Tak ada topik yang bisa dibahas. Hanya suara
deru sepeda motor dan lalu lalang kendaraan di jalan raya. Entah mendapat
sumber keberanian dari mana, aku memulai pembicaraan yang terbilang kaku itu.
“Bagaimana
kuliahmu?”
“Baik.
Dan dirimu?”
“Aku
juga baik.”
“Kenapa
kamu menghilang dari peredaran?”
“Maksudmu?”
Aku gelagapan menjawab pertanyaan yang dilemparkan.
“Tidak.
Lupakan saja. aku hanya mencandamu.”
Dan
tiba-tiba saja tanganku melayang terbawa angin untuk mencubit mesra pinggangnya.
Dan sontan kukatakan, “Maaf. Aku tidak sengaja.”
“Santai
saja. Jangan terlalu terbawa masa depan”
“Baik.”
Aku bingung kenapa aku menjawab dengan kata “baik”. Kebingungan untuk
menganalisis pertanyaanmu itu.
Dan
hening kembali menemani.
Dalam
perjalanan yang cukup jauh itu, aku terbawa lamunanku. Lamunan akan masa lalu. Dimana
ketika hari yang terik itu membawaku menjawab “iya” atas pernyataan cintamu. Manis
sekali. Kemudian hari-hari berikutnya, semua serasa lebih indah dan cerah. Aku mungkin
menghabiskan hari memikirkanmu. Menghabiskan hari dengan saling bertukar pesan
dan sibuk menanyakan kenapa hal semacam ini bisa terjadi. Ada perasaan kuat
diantara kita, yang dulunya saling mengejek bahawa diri masing-masing tak akan
menyukai satu sama lain. Ternyata tak bertahan lama untuk ejeken konyol seperti
itu, buktinya adalah hari ini.
Tapi
ternyata cinta juga tidak bertahan lama. Hanya beberapa bulan dan kau
memutuskan pergi dari hari cerah yang sendiri kau bangun. Alasan kuatmu adalah,
kau tak yakin dengan perasaanmu dan mungkin kita lebih akan merasa biasa dengan
ejekan tak berguna di masa lalu. Aku hanya pasrah. Dan mulai meyakini bahwa,
inilah cinta yang tak akan bertahan lama. Dengan siapapun aku menjalinya. Dengan
siapapun aku merawatnya. Semua akan sama. Berakhir dengan luka parah. Kemudian berbekas
dan hanya menimbulkan amarah serta benci yang membuncah ruah. Tetpai hari ini
terjadi. Hari dimana aku dan dirimu menuju tempat berkabut. Aku tak tau dan
berusaha untuk tidak menerka-nerka apa yang mungkin saja terjadi disana.
Setiba
di sana, ternyata tempat itu tidak benar-benar berkabut. Tak sebanyak dalam
imajinasiku. Jagung bakar kemudian mengisi perut masing. Rupanya jagung bakar
rasa coklat manis itu membuat kaku berganti menjadi santai. Mulai ada canda
sana sini dengan cerita super konyol yang entah mempunyai inspirasi dari mana
kau membuatnya.
“Ayo
ke puncak di atas sana!” ajaknya lembut
“Boleh”
kemudian senyumku menyusul.
Tak
kusangka di tempat ini setumpuk rasa dingin membuatku merasakan beku tidak
permanen. Kuhangatkan diri dengan menggosok-gosok telapak tangan. Tiba-tiba
tanganmu meraih tanganku, tugas menghangatkan berganti orang. Aku malu. Dan entah
kenapa aku tidak berusaha melepasnya.
Kami
di puncak. Seluruh kota bisa terlihat dari sini, indah sekali. Kemudian kurasakan
kau memutar balik tubuhku menghadap ke arahmu. Aku mulai gugup. Keringat dingin
mulai mengalir dan aku keheranan. Tanganku kau raih dengan lembut. Tubuhmu yang
jangkung membuatku harus mengadahkan kepala ku ke atas untuk bisa menatap
sepasang matamu. Dan sedikit melelahkan harus melakukan itu ketika harus
berhadapan denganmu. Kemudian kau memulai pembicaraan kita.
“Aku
merindukanmu” katanya gugup.
“Tapi
kenapa harus aku yang menjadi orang yang kamu rindukan?”
“Aku
tak tau. Aku hanya berusaha meraihmu kembali setelah dulu pernah ku lepas bebas
dirimu pergi meninggalkanku.”
“Lalu,
kenapa dulu kau melepaskanku?”
“Karena
aku belum yakin dengan rasaku.”
“Apa
sekarang kamu sudah yakin?”
“Aku
sangat yakin.” Angguknya mantap.
“Beri
aku alasan atas keyakinanmu!”
“Aku
merasa, setelah kau pergi ada yang berubah dalam hidupku. Tapi, aku tak pernah
bisa mencari tau apa itu. Aku hanya merasa, kebahagiaan lenyap seiring
kepergianmu. Aku merasa, cerah hidupku mulai redup lagi saat melihatmu pergi.
Aku merasa, aku mencintaimu dengan penuh yakin dalam hatiku.”
“
Lalu, kenapa kau tak menghubungi beberapa hari setelahnya?”
“Karena
aku merasa, itu hanyalah rindu sesaat yang akan hilang ditelan waktu dan
sibuknya aku.”
“Lalu?”
“Aku
bingung. Bulan demi bulan dalam tahun kulewati dengan rindu dalam ruang hatiku
yang tumbuh terlalu cepat. Dan aku tak tahan. Aku tak tahan dengan kerinduan.
Kerinduan hanya membunuhku perlahan. Kerinduan akan dirimu. Akan tawamu. Akan
pembicaraan panjang kita lewat Handphone. Akan sms pagi harimu. Akan semua hal
tentang waktu yang kujalani bersamamu”
“Dan?”
“Saat
aku berusaha menghubungimu, semua menjadi rumit. Aku kehilangan dirimu dalam
jarak. Dirimu hilang dan aku tak tau dimana harus mencari. Aku berpikir,
mungkin kamu marah padaku dan menginginkan aku untuk tidak berusaha
menghubungimu dengan apapun. Aku menyesel. Titik puncak penyesalanku, ketika
aku merasa bahwa Yang Kuasa tak membantuku menemukanmu dalam ribuan gelombang
kaum hawa”
“Jadi?”
“Maukah
kau kembali padaku? Di puncak ini, dalam dingin ini, dalam kabut yang
meredupkan mata kita, dalam genggaman hangat tanganku, maukah melangkah bersama
lagi denganku? Tenang. Aku sudah yakin dengan rasaku. Sebab rindu yang kurasa
akan hadirmu, membuatku yakin bahwa inilah Cinta yang kusadari dengan sangat
terlambatnya”
“Ya
aku mau. Aku mau melangkah bersamamu menerobos kabut yang dingin ini, mencari
mentari yang mungkin tak sehangat genggaman tanganmu. Ya aku mau.”
Kurasakan
keningku basah akan kecupan lembutmu. Dan senyum kecil ini menceritakan semua perasaan campur aduk dalam hatiku.
Perasaan untuk laki-laki jangkung yang berdiri menggenggam tanganku hangat di
puncak gunung yang tertutup kabut dan dingin ini.