Selasa, 30 April 2013

LAKI-LAKI JANGKUNG DI PUCAK BERKABUT

Diposting oleh Unknown di 01.11 0 komentar

LAKI-LAKI JANGKUNG DI PUCAK BERKABUT
Afdholifah Ainunia Hago


Senja itu, aku sedang menikmati secangkir teh manis dan beberapa potong kue. Aku sangat mekimati langit sore dengan orangenya dan membaca novel yang kugenggam. Novel ini menemenani hari Sabtuku yang kosong. Tak kusangka, novel yang sedang ku baca ini akan menjadi realita di hari esok. “Kembali karena Rindu”.
            Beberapa menit berlalu. Aku semakin terbuai dalam cerita ini. Cerita tentang seorang laki-laki urak-urakan yang kembali pada pelukan gadis desaanya karena rindu. Ya hanya karena rindu yang tak bisa ditahannya lebih lama lagi. Berselang beberapa lama, kurasakan handphoneku bergetar, membuyarkan secara cepat suasana yang sudah kuserap dengan sempurnanya dari novel ini. Hoho, rupanya ada satu pesan baru. Dan wajahku berubah seketika.
            “Hai apa kabar?”
Yang mengsms tak bernama. Kujawab singkat saja.
            “Baik. Maaf ini siapa?”
            “Satrya J
Ku putar balik memori sejenak. Dan, ah yaa! Satrya. Laki-laki itu.
            “Oh iya. Aku mengingatmu”
            “Syukurlah. Aku mengira amensia sudah membuang separuh ingatanmu. Mungkin aku ada di dalam ingatan yang terbuang itu.”
            Aku sedikit ganjil dengan isi pesan yang satu itu.
            “Mungkin tidak dan bisa jadi iya”
            “Aku mungkin memahami maksudmu. Besok aku ingin mengajakmu ke tempat berkabut. Bisa?”
            “Baik aku bisa.” Sangat yakin aku menjawab. Dan aku tidak tau kenapa dengan yakin menjawab seperti itu.
            “Besok aku menjemputmu. Rumahmu masih di tanah yang sama, kan?”
            “Haha. Kalaupun aku sudah pindah, tentu saja masih di atas tanah. Baik aku akan menunggu jam 9. See ya.”
            Dan entah kenapa, atmosfer hati berubah 100 persen menjadi campur aduk. Gugup mulai mendera. Dan aku bingung kenapa harus merasakan gugup. Aku hanya akan berjalan-jalan bersamanya ke dalam kabut. Ya bersama dia dari masa lalu.


            Dalam perjalanan hanya diam mengikat kami. Tak ada topik yang bisa dibahas. Hanya suara deru sepeda motor dan lalu lalang kendaraan di jalan raya. Entah mendapat sumber keberanian dari mana, aku memulai pembicaraan yang terbilang kaku itu.
            “Bagaimana kuliahmu?”
            “Baik. Dan dirimu?”
            “Aku juga baik.”
            “Kenapa kamu menghilang dari peredaran?”
            “Maksudmu?” Aku gelagapan menjawab pertanyaan yang dilemparkan.
            “Tidak. Lupakan saja. aku hanya mencandamu.”
            Dan tiba-tiba saja tanganku melayang terbawa angin untuk mencubit mesra pinggangnya. Dan sontan kukatakan, “Maaf. Aku tidak sengaja.”
            “Santai saja. Jangan terlalu terbawa masa depan”
            “Baik.” Aku bingung kenapa aku menjawab dengan kata “baik”. Kebingungan untuk menganalisis pertanyaanmu itu.
            Dan hening kembali menemani.
            Dalam perjalanan yang cukup jauh itu, aku terbawa lamunanku. Lamunan akan masa lalu. Dimana ketika hari yang terik itu membawaku menjawab “iya” atas pernyataan cintamu. Manis sekali. Kemudian hari-hari berikutnya, semua serasa lebih indah dan cerah. Aku mungkin menghabiskan hari memikirkanmu. Menghabiskan hari dengan saling bertukar pesan dan sibuk menanyakan kenapa hal semacam ini bisa terjadi. Ada perasaan kuat diantara kita, yang dulunya saling mengejek bahawa diri masing-masing tak akan menyukai satu sama lain. Ternyata tak bertahan lama untuk ejeken konyol seperti itu, buktinya adalah hari ini.
            Tapi ternyata cinta juga tidak bertahan lama. Hanya beberapa bulan dan kau memutuskan pergi dari hari cerah yang sendiri kau bangun. Alasan kuatmu adalah, kau tak yakin dengan perasaanmu dan mungkin kita lebih akan merasa biasa dengan ejekan tak berguna di masa lalu. Aku hanya pasrah. Dan mulai meyakini bahwa, inilah cinta yang tak akan bertahan lama. Dengan siapapun aku menjalinya. Dengan siapapun aku merawatnya. Semua akan sama. Berakhir dengan luka parah. Kemudian berbekas dan hanya menimbulkan amarah serta benci yang membuncah ruah. Tetpai hari ini terjadi. Hari dimana aku dan dirimu menuju tempat berkabut. Aku tak tau dan berusaha untuk tidak menerka-nerka apa yang mungkin saja terjadi disana.

            Setiba di sana, ternyata tempat itu tidak benar-benar berkabut. Tak sebanyak dalam imajinasiku. Jagung bakar kemudian mengisi perut masing. Rupanya jagung bakar rasa coklat manis itu membuat kaku berganti menjadi santai. Mulai ada canda sana sini dengan cerita super konyol yang entah mempunyai inspirasi dari mana kau membuatnya.
            “Ayo ke puncak di atas sana!” ajaknya lembut
            “Boleh” kemudian senyumku menyusul.
            Tak kusangka di tempat ini setumpuk rasa dingin membuatku merasakan beku tidak permanen. Kuhangatkan diri dengan menggosok-gosok telapak tangan. Tiba-tiba tanganmu meraih tanganku, tugas menghangatkan berganti orang. Aku malu. Dan entah kenapa aku tidak berusaha melepasnya.
            Kami di puncak. Seluruh kota bisa terlihat dari sini, indah sekali. Kemudian kurasakan kau memutar balik tubuhku menghadap ke arahmu. Aku mulai gugup. Keringat dingin mulai mengalir dan aku keheranan. Tanganku kau raih dengan lembut. Tubuhmu yang jangkung membuatku harus mengadahkan kepala ku ke atas untuk bisa menatap sepasang matamu. Dan sedikit melelahkan harus melakukan itu ketika harus berhadapan denganmu. Kemudian kau memulai pembicaraan kita.
            “Aku merindukanmu” katanya gugup.
            “Tapi kenapa harus aku yang menjadi orang yang kamu rindukan?”
            “Aku tak tau. Aku hanya berusaha meraihmu kembali setelah dulu pernah ku lepas bebas dirimu pergi meninggalkanku.”                  
            “Lalu, kenapa dulu kau melepaskanku?”
            “Karena aku belum yakin dengan rasaku.”
            “Apa sekarang kamu sudah yakin?”
            “Aku sangat yakin.” Angguknya mantap.
            “Beri aku alasan atas keyakinanmu!”
            “Aku merasa, setelah kau pergi ada yang berubah dalam hidupku. Tapi, aku tak pernah bisa mencari tau apa itu. Aku hanya merasa, kebahagiaan lenyap seiring kepergianmu. Aku merasa, cerah hidupku mulai redup lagi saat melihatmu pergi. Aku merasa, aku mencintaimu dengan penuh yakin dalam hatiku.”
            “ Lalu, kenapa kau tak menghubungi beberapa hari setelahnya?”
            “Karena aku merasa, itu hanyalah rindu sesaat yang akan hilang ditelan waktu dan sibuknya aku.”
            “Lalu?”
            “Aku bingung. Bulan demi bulan dalam tahun kulewati dengan rindu dalam ruang hatiku yang tumbuh terlalu cepat. Dan aku tak tahan. Aku tak tahan dengan kerinduan. Kerinduan hanya membunuhku perlahan. Kerinduan akan dirimu. Akan tawamu. Akan pembicaraan panjang kita lewat Handphone. Akan sms pagi harimu. Akan semua hal tentang waktu yang kujalani bersamamu”
            “Dan?”
            “Saat aku berusaha menghubungimu, semua menjadi rumit. Aku kehilangan dirimu dalam jarak. Dirimu hilang dan aku tak tau dimana harus mencari. Aku berpikir, mungkin kamu marah padaku dan menginginkan aku untuk tidak berusaha menghubungimu dengan apapun. Aku menyesel. Titik puncak penyesalanku, ketika aku merasa bahwa Yang Kuasa tak membantuku menemukanmu dalam ribuan gelombang kaum hawa”
            “Jadi?”
            “Maukah kau kembali padaku? Di puncak ini, dalam dingin ini, dalam kabut yang meredupkan mata kita, dalam genggaman hangat tanganku, maukah melangkah bersama lagi denganku? Tenang. Aku sudah yakin dengan rasaku. Sebab rindu yang kurasa akan hadirmu, membuatku yakin bahwa inilah Cinta yang kusadari dengan sangat terlambatnya”
            “Ya aku mau. Aku mau melangkah bersamamu menerobos kabut yang dingin ini, mencari mentari yang mungkin tak sehangat genggaman tanganmu. Ya aku mau.”
            Kurasakan keningku basah akan kecupan lembutmu. Dan senyum kecil ini menceritakan  semua perasaan campur aduk dalam hatiku. Perasaan untuk laki-laki jangkung yang berdiri menggenggam tanganku hangat di puncak gunung yang tertutup kabut dan dingin ini.
            
 

writing is beauty Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea