83 DAN TANDA TANYA
Afdholifah
Ainunia Hago
Malam itu aku
mengendarai santai sepeda motor biruku. Tujuanku menuju rumah. Aku sendirian,
setelah seharian penuh menghabiskan hari dengan melempar tawa diiringi tangis
dengan mereka yang sebayaku aku lelah dan ingin sekali melepas lelah di kasur
empuk. Aku mengendarai sepeda motorku perlahan, beberapa meter di depanku kulihat
traffic light sudah siap menyambut. Lampu merah terpampang dengan angka 83. Ahh,
lama sekali batinku. Saat berhenti kulemparkan pandangan ke sekitarku. Tiba-tiba
saja kuhentikan gerak kepala dan memantapkan pandangan mata kesatu arah. Bocah kecil
berwajah muram ini menyita perhatianku. Rambut panjangnya tegerai kusut. Matanya
memancarkan kelelahan mendalam. Tubuhnya kurus kering. Dan langkahnya, langkah
terberat yang pernah kulihat. Tapi satu hal yang membuatku terus menatapnya,
senyum yang dia miliki. Senyum yang dia pancarkan dengan tulus berkawan ikhlas.
Tak lama kemudian dia berjalan mendekat ke arahku. Seketika menepuk-nepukan
tangannya dan mulai menyanyikan sebuah lagu yang entah apa aku tak berusaha
mencari tau atau mengingatnya. Suaranya sumbang. Tapi dia terus bernyanyi
dengan tersenyum. Kemudian mengadahkan tangannya. Dengan terburu-buru, ku ambil
recehan yang ku simpan di saku celana dan memberikan kepadanya. Bunyi gemerincing
terdengar. “Terimakasih kak”. Begitu katanya sambil berlalu kemudian bernyanyi
sumbang lagi ke lainnya. Dan aku hanya membalas dengan senyum yang masih
bingung. Kemudian pikiranku mulai menuntunku untuk melamun. Melamunkan banyaknya
pertanyaan. “Kenapa anak kecil seperti itu, di malam yang dingin seperti ini,
berada di luar? Kenapa dia bekerja? Apa besok dia tidak bersekolah seperti
anak-anak lainnya? Apa dia tidak punya PR yang harus dia kerjakan? Tapi tunggu,
apa dia bersekolah? Kebanyakan anak seperti dia mungkin berlatar belakang tidak
mampu. Mungkin saja dia tidak sekolah. Lalu, kemana orang tuanya? Mungkinkah penghasilan
orang tuanya tidak mencukupi sehingga dia harus membantu untuk “mencukupinya?”.
Atau mungkin kedua orangtuanya sudah bersama Yang Kuasa di atas sana? Kenapa dia
sangat tidak terurus? Dimana dia tidur? Apa dia memejamkan mata di atas tanah
yang kasar berselimutkan langit berbintang? Apa lalu lalang kendaraan sudah
biasa jadi apa yang dia lihat? Apa makannya terurus? Apa hiduonya selalu di
siang yang terik dan malam yang membekukan dirinya perlahan? Tapi, bukankah
kemarin kulihat di televisi orang-orang yang memegang andil negara ini berkata
bahwa semua rakyatnya akan merasa hidup dengan dasar tercukupi. Lalu sekarang kemana
pemerintah? Kemana orang-orang besar berjas dan berdasi itu? Kemana mereka yang
mengumbar janji untuk mensejahterkan rakyatnya? Kenapa masih sangat bertumpuk
orang-orang seperti anak itu? Apa pemerintah berbohong? Mau jadi apa negara ini
bila banyak anak seperti itu memiliki masa kecil yang tidak begitu cerah? Bagaimana
nanti bila dia dewasa? Apa dia akan memiliki pekerjaan yang baik lagi halal? Bukankan
kami-kami ini sebagai Sumber daya manusia yang membantu memajukan negara ini? Lalu,
jika sumber daya manusianya buruk lagi bobrok? Apa negara ini akan berjalan
maju ke depan? Atau mungkin berdiam dan menunggu hujan pencerahan dari langit? Atau
mungkin mundur dan perlahan hancur lalu hilang nama dari dunia? Mungkin negara
lain mau membantu. Tetapi negaraku, negara yang melahirkan para koruptor. Apakah
mereka mau percaya pada negaraku yang isinya hanya pengkhianat-pengkhianat
bangsa? Lalu bagaimana nasib kami? Kami haya rakyat. Rakyat yang ternyata salah
mempercayai orang untuk mengatur bangsa kami yang dulu, dulunya dengan
perjuangan setengah mati para pahlawan untuk memerdekakannya ”.
“piip piip”. Suara bel
sepeda motor dibelakangku sontak mengagetkanku. Ternyata merah sudah berganti
hijau. Ku kendarai sepeda motorku perlahan. Tadi itu 83 detik dengan setumpuk
tanda tanya dalam pikiranku. Tapi bagaimana bisa? J