“KAMI”
Afdholifah Ainunia Hago
Ini cerita tentang kami. Tentang bagaimana kami meneriakan tawa. Tentang
bagaimana kami memulai melangkah bersama. Tentang tiap lembar penuh coretan
yang bercerita akan masa depan cerah. Ini tentang kami, calon pemimpin bangsa.
Tentang hari yang dimulai dengan berseragam sekolah.
Matahari itu milik sang pagi. Muncul dari ujung langit, menghangatkan
tulang-tulang kami. Bergegas dengan pasti menyiapkan segala kebutuhan kami,
seragam kumal yang terpakai tiga tahun lamanya. Tas robek-robek yang memuat
buku-buku. Sepatu bolong yang bisa dilalui sang angin bolak balik, serta senyum
penuh yakin melangkah dengan mengucap basmalah.
Tiba di sekolah bukanlah hal yang mudah untuk dilalui. Butuh niat
serta tekad yang kuat untuk sampai gedung tua nan kokoh itu. Tanpa kedua hal
tersebut, mungkin jalannya tidak akan lurus. Mungkin mulai membelok ke pasar
atau tempat-tempat lainnya.
“Baik, anak-anak. Sekarang buka buku kalian dan pahami isi buku
tersebut”. Kata-kata ini sungguh mematikan bagi kami. Melihat kumpulan huruf
dan angka yang menari-nari membuat banyak bintang yang berkialan di atas kepala
semakin menjadi-jadi. Bukan apa-apa, hanya saja melihat huruf sebanyak ini
selama tiga tahun butuh konsentrasi yang super serta tingkat kerajinan baca
yang tinggi. Lihat saja wajah-wajah suram itu, baru melihat huruf pertama saja
sudah lima kali menguap, padahal ini bau jam 8. Ini hal terberat ketika
kegiatan kami adalah membaca.
“Baik anak-anak, berapa luas bangunan ini?”. Hal ini membuat kami
seperti dikejar-kejar tumpukan angka. Parahnya, angka-angka ini seperti pemakan
segala yang tentu saja sudah siap memakan kami sampai mati. Matematika itu hal
tersulit. Ketika angka bertumpuk angka sama dengan tidak tau apa-apa.
“Baik anak-anak, bagaimana perang dunia bisa terjadi?” Ini menguras
tenaga. Memperbanyak kerja otak. Bagaimana kami bisa tau sedangkan saat perang
terjadi ibu kami saja belum terlahir ke dunia. Jawabannya ada jika mnencarinya
ditumpukan huruf. Tapi sepertinya itu tidak mungkin.
Tapi kami tentu saja tidak sebodoh dan separah itu. Kami belajar,
bahkan dengan kesungguhan hati. Karena hanya butuh usaha dan doa untuk
meninggalkan sekolah ini membawa label LULUS. Bahagia bukan? Kami mengukir
sejarah dalam kehidupan kami dengan cerita tak tau baca dan menghitung kami
akan berusaha mendapatkanmu oh LULUS.
Sekolah itu membawa ceria dengan cerita. Persahabatan, cinta,
permusuhan dan segala jenis rasa tercipta di sini. Percaya atau tidak, semua
itu terkadang menjadi salah satu faktor kami untuk berangkat sekolah. Menorehkan
tinta pulpen sambil memikirkan sang pacar yang berada di kelas sebelah bukanlah
hal yang buruk. Tapi buruk juga jika yang ditulis hanya nama sang pacar. Berjalan
beriringan bersama sekawananmu merupakan hal terindah. Kalian melukis cerita
bersama. Kemudian memenuhi kantin dan toilet sekolah dengan gelak tawa
membuncah ruah. Atau mungkin menunggu jarum jam itu membentak kami untuk
pulang, sehingga bisa adu jotos dengan pembuat amarah.
Itu sekolah. Dari luar mungkin akan terbaca siswa yang datang untuk
belajar dan pulang membawa PR. Tapi dari dalam sekolah adalah wahana kami
menuju dewasa. Dari dalam sekolah tertulis cerita lain tentang kehidupan kami. Tentang
pengalaman berharga yang mungkin ketika kami sudah tua lalu mengingatnya lagi
akan cekikian sendiri. Singkatnya sekolah punya sisi lain tentang kami. :)
Di dalam sekolah ada cerita. Dan kami-kami yang berseragam ini adalah
aktor dan aktrisnya. :)