Senin, 02 September 2013

"Kami"

Diposting oleh Unknown di 06.54 0 komentar


“KAMI”
Afdholifah Ainunia Hago

Ini cerita tentang kami. Tentang bagaimana kami meneriakan tawa. Tentang bagaimana kami memulai melangkah bersama. Tentang tiap lembar penuh coretan yang bercerita akan masa depan cerah. Ini tentang kami, calon pemimpin bangsa. Tentang hari yang dimulai dengan berseragam sekolah.
Matahari itu milik sang pagi. Muncul dari ujung langit, menghangatkan tulang-tulang kami. Bergegas dengan pasti menyiapkan segala kebutuhan kami, seragam kumal yang terpakai tiga tahun lamanya. Tas robek-robek yang memuat buku-buku. Sepatu bolong yang bisa dilalui sang angin bolak balik, serta senyum penuh yakin melangkah dengan mengucap basmalah.
Tiba di sekolah bukanlah hal yang mudah untuk dilalui. Butuh niat serta tekad yang kuat untuk sampai gedung tua nan kokoh itu. Tanpa kedua hal tersebut, mungkin jalannya tidak akan lurus. Mungkin mulai membelok ke pasar atau tempat-tempat lainnya.
“Baik, anak-anak. Sekarang buka buku kalian dan pahami isi buku tersebut”. Kata-kata ini sungguh mematikan bagi kami. Melihat kumpulan huruf dan angka yang menari-nari membuat banyak bintang yang berkialan di atas kepala semakin menjadi-jadi. Bukan apa-apa, hanya saja melihat huruf sebanyak ini selama tiga tahun butuh konsentrasi yang super serta tingkat kerajinan baca yang tinggi. Lihat saja wajah-wajah suram itu, baru melihat huruf pertama saja sudah lima kali menguap, padahal ini bau jam 8. Ini hal terberat ketika kegiatan kami adalah membaca.
“Baik anak-anak, berapa luas bangunan ini?”. Hal ini membuat kami seperti dikejar-kejar tumpukan angka. Parahnya, angka-angka ini seperti pemakan segala yang tentu saja sudah siap memakan kami sampai mati. Matematika itu hal tersulit. Ketika angka bertumpuk angka sama dengan tidak tau apa-apa.
“Baik anak-anak, bagaimana perang dunia bisa terjadi?” Ini menguras tenaga. Memperbanyak kerja otak. Bagaimana kami bisa tau sedangkan saat perang terjadi ibu kami saja belum terlahir ke dunia. Jawabannya ada jika mnencarinya ditumpukan huruf. Tapi sepertinya itu tidak mungkin.
Tapi kami tentu saja tidak sebodoh dan separah itu. Kami belajar, bahkan dengan kesungguhan hati. Karena hanya butuh usaha dan doa untuk meninggalkan sekolah ini membawa label LULUS. Bahagia bukan? Kami mengukir sejarah dalam kehidupan kami dengan cerita tak tau baca dan menghitung kami akan berusaha mendapatkanmu oh LULUS.
Sekolah itu membawa ceria dengan cerita. Persahabatan, cinta, permusuhan dan segala jenis rasa tercipta di sini. Percaya atau tidak, semua itu terkadang menjadi salah satu faktor kami untuk berangkat sekolah. Menorehkan tinta pulpen sambil memikirkan sang pacar yang berada di kelas sebelah bukanlah hal yang buruk. Tapi buruk juga jika yang ditulis hanya nama sang pacar. Berjalan beriringan bersama sekawananmu merupakan hal terindah. Kalian melukis cerita bersama. Kemudian memenuhi kantin dan toilet sekolah dengan gelak tawa membuncah ruah. Atau mungkin menunggu jarum jam itu membentak kami untuk pulang, sehingga bisa adu jotos dengan pembuat amarah.
Itu sekolah. Dari luar mungkin akan terbaca siswa yang datang untuk belajar dan pulang membawa PR. Tapi dari dalam sekolah adalah wahana kami menuju dewasa. Dari dalam sekolah tertulis cerita lain tentang kehidupan kami. Tentang pengalaman berharga yang mungkin ketika kami sudah tua lalu mengingatnya lagi akan cekikian sendiri. Singkatnya sekolah punya sisi lain tentang kami. :)
Di dalam sekolah ada cerita. Dan kami-kami yang berseragam ini adalah aktor dan aktrisnya. :)



 

writing is beauty Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea