Perempuan Sejuta Gelar
(Afdholifah Ainunia Hago)
Ibu,
kalau aku dengar kata itu, mungkin hanya wajah lembut ibuku yang terbayang. Betapa
lembut dan hangatnya tatapan ibuku. Senyumnya saja bisa mengguncang hatiku, meluluhkan
tiap nafas amarahku, menghapuskan rasa kecewa berat yang aku tahan di dalam
dada. Ketika aku mengingat kata-katanya,
tiap ucapannya, tiap huruf yang dia keluarkan dari bibir mungilnya, sungguh itu
sangat menyamankan sepasang telingaku, kemudia menjalar ke otak serta hatiku,
serasa air sungai tersegar mengalirinya. Hebat sekali ibuku, hanya dengan
tindakan spelenya itu, dia sudah bisa mengubah sedetik perasaan dalam hariku.
Ibu,
kalau aku dengar kata itu, pastilah itu pahlawanku. Bayangkan saja, dia rela
dan teramat sangat ikhlas mempertaruhkan hidupnya demi aku, demi nafasku, demi
senyumku, demi tawaku, demi tangis pertamaku yang ingin dia dengar, dan demi
hidupnya aku. Ya aku, anaknya. Aku bangga terlahir dari wanita penuh
pengorbanan layaknya ibuku.
Ibu,
kalau aku dengar kata itu, pastilah itu bidadari wujud manusiaku. Sungguh
sangat penyayang, pendengar yang baik, penolong yang hebat, dan segala macam
pujian terindah untuknya, Ibuku. Ibuku itu bidadari wujud manusia, pastilah
mempunyai nafsu amarah. Tapi tenang, dia bidadari, ingat? Amarahnya pun untuk
kebaikanku.
Ibu,
kalau aku dengar kata itu, pastilah pendoa terbaik di dunia sekaligus yang
terburuk. Aku heran, aku pernah mendengar ibuku berdoa di waktu dini hari, dan
namaku terdengar berulang kali diiringi isakan tangis. Sesaat kemudian dia
berdoa dan meminta pada Tuhan seperti ini “Oh Tuhanku maha segala-galanya,
Ijinkan aku hidup selama usia hidup anakku. Ijinkan aku hidup dan menemaninya
untuk hidup dalam hidup yang penuh rintangan bahaya. Ijinkan aku melangkah
didepannya dan menghadang segala cobaan dan berjalan dibelakangnya sebagai
penyemangatnya”. Lagi-lagi untuk aku.
Ahh,
aku sampai lupa harus menulis gelar apa lagi untuk ibuku. Terlalu banyak gelar
terbaik yang diperoleh ibuku. Karena ibuku, PEREMPUAN SEJUTA GELAR.