Kamis, 17 Januari 2013

Rupiah Di Kantongku

Diposting oleh Unknown di 21.09

Rupiah di Kantongku
Afdholifah Ainunia Hago

Pagi itu, suasana bisa diajak becerita. Indahnya langit biru tanpa noda hitam diatasnya. Riangnya burung-burung itu bernyanyi, semilir angin pagi yang menenangkan, butiran embun pagi yang menyejukkan, melengkapi siapapun yang ingin mengawali untuk menulis cerita hari  ini.
Tak terkeculai, gadis kecil bersenyum manis beraliran kekuatan magis ini. Mulai membuka mata menyambut hangat mentari pagi dan mengucapkan selamat pagi pada cuaca yang mendukungnya hari ini. Beranjak dari tempat tidur kemudian melangkahkan kaki dan bersiap memperindah dan mempercantik diri sebelum ilmu menyapanya di bangunan kokoh tempat dia mencari. Cukuplah satu jam untuk melakukannya, toh ini bukan kontes kecantikan yang butuh ribuan detik untuk menyelesaikannya. Sedikit polesan bedak, pelembut bibir untuk memaniskan senyumnya yang memang sudah manis, dan wewangian yang menambah semangat.
“Selamat pagi ayah, bunda, dan adik kecil” sapanya riang.
“Selamat pagi sayang, ayo duduk sini. Bunda sudah menyipkan roti dengan selai coklat kesukaanmu” jawab sang bunda, lembut.
“Terimakasih Bunda”
Sarapan itu berlangsung diam. Ya mungkin saja memang tak ada hal yang perlu dibicarakan. Cuma ada ayah yang kepalanya sudah diisi dengan berita hangat pagi tak kalah hangat kopi buatan bunda yang sudah mengisi perutnya. Cuma ada bunda yang sibuk mengepang rambut  lucu adik kecil ini. Dan cum ada aku dengan roti coklatku. Dan selesai, kegiatan saling sibuk di  meja makan itu selesai.
“Ayah, hari ini ayah tak perlu untuk mengantar. Ada Lili yang mau datang menjemput dengan Beat-nya. Ayah mengantarkan Tiara saja” Kata Putri sembari merapikan tas dan pakaiannya.
“Baiklah kalau begitu. Oya ini uang jajanmu”
Menerima kemudian menatap 3 lembaran uang yang ada ditangannya. “Ayah, kenapa Cuma 3 lembar  patimura?”
“Loh, bukannya dari dulu juga sudah seperti itu?”
“Tapi ayah, Putri kan sudah kelas 3 SMP. Masa dari dulu sampai sekarang tidak berubah jumlah. Semakin banyak jajan yang harus dicoba. Dan apa 3 lembar ini cukup ayah?
“Lupa ya sayang? Makanlah  makanan yang memang dibutuhkan perutmu bukan memberatkan perutmu.”
Piiip piippp. Suara bel sepeda motor terdengar jelas. Itu Lili yang akan datang menjemput Putri.
“Ahh Ayah. Selalu saja berkata seperti itu. Putri samapi menghafalnya. Yang seharusnya berada di dalam kepala jadi dihafal luar kepala. Putri berangkat dulu”
“Hati-hati ya sayang” kata bunda yang sedari tadi diam dan hanya menyaksikan.
Karena kesal hanya diberi 3 lembar patimura di awal kelas 3 SMPnya Putripun berangkat tanpa mengucap salam seperti biasa. Dan Ayah dan Bundanya Cuma bisa menggelengkan kepala sambil menatap Putri yang mulai hilang dari pandangan.


Saat berada dalam perjalanan ke sekolah, Lili dan Putri tak saling mengeluarkan suara. Ya Lili sudah mengenal betul Putri. Dia anak yang periang dan lumayan cerewet. Jadi jika dia tidak berbica saat bertemu Lili tandanya masalah ada di kepalanya dan menguci rapat mulutnya untuk berbicara sebab hatinya sedang tidak dalam kondisi riang. Lili sudah bersahabat dengan Putri sejak SD. Entah takdir atau bagaimana semasa SD mereka selalu sekelas. Dulu Lili tinggal di sebelah rumah Putri. Tapi semenjak ayah Lili meninggal, Ibunya tak sanggup untuk membayar kontrakan rumah sebesar yang mereka tempati dulu. Akhirnya mereka pindah ke rumah kontrakan yang lebih kecil yang muat untuk mereka berdua. Ya Lili adalah anak tunggal jadi sekarang dia hanya tinggal bersama ibunya.
Lili tak tahan jika tak berbicara dan bertanya pada Putri sebab apa dia tidak seriang pagi kemarin.
“Put, kenapa sih? Kok diem banget? Kita kayak lagi jalan lewat kuburan aja” canda Lili.
“Apa sih Lil, gak lucu sumpah. Lagi BM alias Bad Mood.”
“Lagi dapet ya neng?”
“Gak”
“Belum sarapan?”
“Udah”
“Gak berseragam lengkap?”
“Bukan”
“Ya terus kenapa dong Put? Murung amat tu muka kayak tempurung.”
“Emang tempurung bisa murung?”
“Ya gak sih. Ya makanya cerita dong!”
“Ntar aja deh kalo udah disekolah. Nyetir sono yang bener, bawa nyawa ni kamu”
“Aduh Put, aku juga tau lagi put kalo lagi bawa nyawa”
Hari itu diawali dengan pelajaran matematika di kelas IX.1. Lihatlah pemandangan ditiap sudut kelas. Semua sedang serius dan menikmati pelajaran matematika ini. Selain Pak Erfan, guru yang pengajar bidang studi matematika ini mengajar dengan metode santai tapi serius, ini juga merupakan awal di kegiatan KBM. Mungkin semua siswa sedang membara semangatnya untuk belajar lebih giat dan serius karena sekarang sudah duduk dibangku kelas 3.
Tapi tidak untuk seorang Putri. Ternyata bad mood dari rumah itu dibawanya hingga ke sekolah, ruang kelas, pelajaran matematika dan catatannya. Ntah kenapa Putri menganggap kalau itu merupakan masalah serius yang harus dipikirkannya sehingga menyita waktu matematikanya. Lili teman sebangku sekaligus sahabat Putri yang melihat hal itu Cuma bisa terdiam. Dia ingin sekali bertanya, tetapi  mengingat sekarang bukanlah waktu yang tepat diapun menahannya.
***
Tibalah waktu istirahat. Lili yang sedari tadi sudah menahan rasa penasarannya semakin tidak sabar untuk bertanya pada Putri.
“Jeng jeng jeng, dan inilah waktu yang tepat” kata Lili saat mereka sudah mulai duduk di meja kantin.
“Kumat deh si Lili”
“Cerita dong Put soal masalah tadi pagi”
“Nih, ini nih masalahnya!” Putri memperlihatkan uang yang tadi pagi diberi oleh Ayahnya.
“Hah? Uang ini penyebab masalhmu? Memangnya apa salah uang ini Put?”Lili kebingungan.
“Bayangin deh Lil, aku udah kelas 3 tapi nilai rupiah dikantongku ini tetap saja tiga ribu rupiah. Tiga ribu rupiah Lil. Mau makan apa aku?”
“Ohh, jadi itu masalahnya. Bukankah ayahmu selalu mengatakan makanlah.............”
“Makanan yang memang dibutuhkan perutmu bukan yang memberatkan perutmu” Putri menyambung kata-kata Lili yang sudah bisa ditebak apa sambungan dari kata-katanya.
“Nah itu kamu tau. Terus kenapa masih ditekuku mukanya?
“Lili sayang, tiga ribu itu tidak cukup. Lihat deh anak-anak lain. Uang saku mereka sepuluh ribu, dua puluh ribu. Nah aku? Tiga ribu.”
“Tapi uang jajanku juga hanya........”
“Lima ribu rupiah. Dan itu sangatlah lumayan” Putri menyela lagi perkataan Lili.
“Hemm. Sudahlah Put. Mungkin Ayahmu memang sedang tidak punya uang. Atau mungkin belum saatnya untuk menaikkan nilai uang sakumu. Nikmati saja ya yang sudah diberi. Toh perutmu masih bisa terisi.”
Krriiing krriing. Bel tanda masuk pun berbunyi. Tanpa panjang kata Lili dan Putripun meninggalkan kantin beriringan. Saking asyiknya berbicara mereka meninggalkan kantin tanpa mengisi perut. Suara drum perut semakin heboh terdengar saat jam-jam terakhir sekolah.


Rupanya ayah melihat kekecewaan itu dihati Putri. Beliau sudah menyadari bahwa pasti gara-gara tadi pagilah yang membuat siang ini terasa begitu gelap bagi Putri. Dalam perjalanan pulang sekolah di atas seperda motor...
“Putri....”
“Iya ayah” menjawab tanpa menoleh.
“Ayah mau mengajakmu ke suatu tempat. Jadi tolong sms ke bunda bahwa kita akan pulang terlambat ya sayang”
“Kita mau kemana ayah?”
“Sudah, ikut saja ya sayang.” Ayah menjawab dengan tersenyum ke arah Putri.
Hanya 30 menit perjalanan, mereka tiba. Putri terheran-heran melihat pemandangan di depannya. Banyak anak-anak kecil bahkan ada pula yang seusianya yang memakai baju teramat kumal dan lusuh. Wajah mereka gelap tapi ntah kenapa jika Putri cermati baik-baik ada rasa keikhlasan yang besar dimata-mata itu. Ayah mengajak Putri menyusuri jalan itu. Di kanan kiri hanya ada selembar kerdus untuk berbaring, bahkan terkena sinar matahari. Ada anak yang sedang menangis dalam gendongan ibunya, seperti kelaparan dan sang ibu gelisah setengah mati melihat anaknya. Bapak yang sudah lansia sedang menatap langit panas seolah memikirkan hal yang sangat berat. Ada rasa iba yang terbesit di hati Putri. Dia ingat bahwa memiliki uang tiga ribu yang belum terpakai. Putri melepas genggaman tangan ayah dan langsung berjalan cepat ke arah anak dan ibu yang sedang dalam kesusahan. Putri memberikannya, terlihat tulus, tulus sekali. Sang ibu itu hanya tersenyum seolah mengatakan “terimakasih nak untuk tiga lembar ini. Betapa berartinya”. Putri hanya membalas senyum itu, manis dan ikhlas sekali. Ayah yang menyaksikan kejadian itu hanya tersenyum bangga dan menyeka air matanya yang mungkin sudah diujung pelupuk mata. Putri kembali menggenggam tangan ayahnya, dia berjalan seolah lebih yakin dari sebelumnya. Seolah ada rasa lega yang luas yang dirasakan, semangat setinggi langit di genggaman tangan dan senyum itu. Akhirnya mereka meninggalkan tempat itu. Tempat dimana ada kelegaan hati, dimana masalah terpecahkan dan dimana Putri belajar tentang satu hal penting yang akan dia terapkan dalam tiap hembusan nafas dan jejak langkah kedepan.


Malam sudah larut dan Putri juga sudah kelelahan. Tapi senyum tadi siang masih saja terpancar seterang tadi. Terdengar ketukan pintu..
“Putri, sudah tidur sayang?” Ayah memanggil dari luar.
“Belum ayah, masuk saja”
Ayah masuk ke kamarnya dan duduk disebelah Putri di kasur ungu bergambar hello kitty itu.
“Bagaimana sayang? Sudah mengertikah tentang hari ini?
Putri hanya mengangguk, mantap seklali anggukan itu,
“Nak, jangan pernah lihat keatas jika sedang membicarakan kekayaan, uang, dan harta benda berharga, tetapi lihatlah kebawah. Lihat bagaimana mereka yang dibawah betul-betul menghargainya bukan bagaimana yang diatas menikmatinya”
“Iya ayah. Putri mengerti sekarang. Terimkasih ayah dan maafkan soal sikap putri tadi pagi ayah.”
Ayah memeluk putri dan mencium kepalanya. Seolah itu mewakilkan semua jawabannya.



jangan pernah lihat keatas jika sedang membicarakan kekayaan, uang, dan harta benda berharga, tetapi lihatlah kebawah. Lihat bagaimana mereka yang dibawah betul-betul menghargainya bukan bagaimana yang diatas menikmatinya J



0 komentar:

Posting Komentar

 

writing is beauty Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea