Rupiah di Kantongku
Afdholifah Ainunia Hago
Pagi itu, suasana bisa diajak becerita.
Indahnya langit biru tanpa noda hitam diatasnya. Riangnya burung-burung itu
bernyanyi, semilir angin pagi yang menenangkan, butiran embun pagi yang
menyejukkan, melengkapi siapapun yang ingin mengawali untuk menulis cerita
hari ini.
Tak terkeculai, gadis kecil bersenyum manis
beraliran kekuatan magis ini. Mulai membuka mata menyambut hangat mentari pagi
dan mengucapkan selamat pagi pada cuaca yang mendukungnya hari ini. Beranjak
dari tempat tidur kemudian melangkahkan kaki dan bersiap memperindah dan
mempercantik diri sebelum ilmu menyapanya di bangunan kokoh tempat dia mencari.
Cukuplah satu jam untuk melakukannya, toh ini bukan kontes kecantikan yang
butuh ribuan detik untuk menyelesaikannya. Sedikit polesan bedak, pelembut
bibir untuk memaniskan senyumnya yang memang sudah manis, dan wewangian yang
menambah semangat.
“Selamat pagi ayah, bunda, dan adik kecil”
sapanya riang.
“Selamat pagi sayang, ayo duduk sini. Bunda
sudah menyipkan roti dengan selai coklat kesukaanmu” jawab sang bunda, lembut.
“Terimakasih Bunda”
Sarapan itu berlangsung diam. Ya mungkin saja
memang tak ada hal yang perlu dibicarakan. Cuma ada ayah yang kepalanya sudah
diisi dengan berita hangat pagi tak kalah hangat kopi buatan bunda yang sudah
mengisi perutnya. Cuma ada bunda yang sibuk mengepang rambut lucu adik kecil ini. Dan cum ada aku dengan
roti coklatku. Dan selesai, kegiatan saling sibuk di meja makan itu selesai.
“Ayah, hari ini ayah tak perlu untuk mengantar.
Ada Lili yang mau datang menjemput dengan Beat-nya. Ayah mengantarkan Tiara
saja” Kata Putri sembari merapikan tas dan pakaiannya.
“Baiklah kalau begitu. Oya ini uang jajanmu”
Menerima kemudian menatap 3 lembaran uang yang
ada ditangannya. “Ayah, kenapa Cuma 3 lembar
patimura?”
“Loh, bukannya dari dulu juga sudah seperti
itu?”
“Tapi ayah, Putri kan sudah kelas 3 SMP. Masa
dari dulu sampai sekarang tidak berubah jumlah. Semakin banyak jajan yang harus
dicoba. Dan apa 3 lembar ini cukup ayah?
“Lupa ya sayang? Makanlah makanan yang memang dibutuhkan perutmu bukan
memberatkan perutmu.”
Piiip piippp. Suara bel sepeda motor terdengar
jelas. Itu Lili yang akan datang menjemput Putri.
“Ahh Ayah. Selalu saja berkata seperti itu.
Putri samapi menghafalnya. Yang seharusnya berada di dalam kepala jadi dihafal
luar kepala. Putri berangkat dulu”
“Hati-hati ya sayang” kata bunda yang sedari
tadi diam dan hanya menyaksikan.
Karena kesal hanya diberi 3 lembar patimura di
awal kelas 3 SMPnya Putripun berangkat tanpa mengucap salam seperti biasa. Dan
Ayah dan Bundanya Cuma bisa menggelengkan kepala sambil menatap Putri yang
mulai hilang dari pandangan.
Saat berada dalam perjalanan ke sekolah, Lili
dan Putri tak saling mengeluarkan suara. Ya Lili sudah mengenal betul Putri.
Dia anak yang periang dan lumayan cerewet. Jadi jika dia tidak berbica saat
bertemu Lili tandanya masalah ada di kepalanya dan menguci rapat mulutnya untuk
berbicara sebab hatinya sedang tidak dalam kondisi riang. Lili sudah bersahabat
dengan Putri sejak SD. Entah takdir atau bagaimana semasa SD mereka selalu
sekelas. Dulu Lili tinggal di sebelah rumah Putri. Tapi semenjak ayah Lili
meninggal, Ibunya tak sanggup untuk membayar kontrakan rumah sebesar yang
mereka tempati dulu. Akhirnya mereka pindah ke rumah kontrakan yang lebih kecil
yang muat untuk mereka berdua. Ya Lili adalah anak tunggal jadi sekarang dia
hanya tinggal bersama ibunya.
Lili tak tahan jika tak berbicara dan bertanya
pada Putri sebab apa dia tidak seriang pagi kemarin.
“Put, kenapa sih? Kok diem banget? Kita kayak
lagi jalan lewat kuburan aja” canda Lili.
“Apa sih Lil, gak lucu sumpah. Lagi BM alias
Bad Mood.”
“Lagi dapet ya neng?”
“Gak”
“Belum sarapan?”
“Udah”
“Gak berseragam lengkap?”
“Bukan”
“Ya terus kenapa dong Put? Murung amat tu muka
kayak tempurung.”
“Emang tempurung bisa murung?”
“Ya gak sih. Ya makanya cerita dong!”
“Ntar aja deh kalo udah disekolah. Nyetir sono
yang bener, bawa nyawa ni kamu”
“Aduh Put, aku juga tau lagi put kalo lagi bawa
nyawa”
Hari itu diawali dengan pelajaran matematika di
kelas IX.1. Lihatlah pemandangan ditiap sudut kelas. Semua sedang serius dan
menikmati pelajaran matematika ini. Selain Pak Erfan, guru yang pengajar bidang
studi matematika ini mengajar dengan metode santai tapi serius, ini juga
merupakan awal di kegiatan KBM. Mungkin semua siswa sedang membara semangatnya
untuk belajar lebih giat dan serius karena sekarang sudah duduk dibangku kelas
3.
Tapi tidak untuk seorang Putri. Ternyata bad
mood dari rumah itu dibawanya hingga ke sekolah, ruang kelas, pelajaran
matematika dan catatannya. Ntah kenapa Putri menganggap kalau itu merupakan
masalah serius yang harus dipikirkannya sehingga menyita waktu matematikanya.
Lili teman sebangku sekaligus sahabat Putri yang melihat hal itu Cuma bisa
terdiam. Dia ingin sekali bertanya, tetapi
mengingat sekarang bukanlah waktu yang tepat diapun menahannya.
***
Tibalah waktu istirahat. Lili yang sedari tadi
sudah menahan rasa penasarannya semakin tidak sabar untuk bertanya pada Putri.
“Jeng jeng jeng, dan inilah waktu yang tepat”
kata Lili saat mereka sudah mulai duduk di meja kantin.
“Kumat deh si Lili”
“Cerita dong Put soal masalah tadi pagi”
“Nih, ini nih masalahnya!” Putri memperlihatkan
uang yang tadi pagi diberi oleh Ayahnya.
“Hah? Uang ini penyebab masalhmu? Memangnya apa
salah uang ini Put?”Lili kebingungan.
“Bayangin deh Lil, aku udah kelas 3 tapi nilai
rupiah dikantongku ini tetap saja tiga ribu rupiah. Tiga ribu rupiah Lil. Mau
makan apa aku?”
“Ohh, jadi itu masalahnya. Bukankah ayahmu selalu
mengatakan makanlah.............”
“Makanan yang memang dibutuhkan perutmu bukan
yang memberatkan perutmu” Putri menyambung kata-kata Lili yang sudah bisa
ditebak apa sambungan dari kata-katanya.
“Nah itu kamu tau. Terus kenapa masih ditekuku
mukanya?
“Lili sayang, tiga ribu itu tidak cukup. Lihat
deh anak-anak lain. Uang saku mereka sepuluh ribu, dua puluh ribu. Nah aku?
Tiga ribu.”
“Tapi uang jajanku juga hanya........”
“Lima ribu rupiah. Dan itu sangatlah lumayan”
Putri menyela lagi perkataan Lili.
“Hemm. Sudahlah Put. Mungkin Ayahmu memang
sedang tidak punya uang. Atau mungkin belum saatnya untuk menaikkan nilai uang
sakumu. Nikmati saja ya yang sudah diberi. Toh perutmu masih bisa terisi.”
Krriiing krriing. Bel tanda masuk pun berbunyi.
Tanpa panjang kata Lili dan Putripun meninggalkan kantin beriringan. Saking
asyiknya berbicara mereka meninggalkan kantin tanpa mengisi perut. Suara drum
perut semakin heboh terdengar saat jam-jam terakhir sekolah.
Rupanya ayah melihat kekecewaan itu dihati
Putri. Beliau sudah menyadari bahwa pasti gara-gara tadi pagilah yang membuat
siang ini terasa begitu gelap bagi Putri. Dalam perjalanan pulang sekolah di
atas seperda motor...
“Putri....”
“Iya ayah” menjawab tanpa menoleh.
“Ayah mau mengajakmu ke suatu tempat. Jadi
tolong sms ke bunda bahwa kita akan pulang terlambat ya sayang”
“Kita mau kemana ayah?”
“Sudah, ikut saja ya sayang.” Ayah menjawab
dengan tersenyum ke arah Putri.
Hanya 30 menit perjalanan, mereka tiba. Putri
terheran-heran melihat pemandangan di depannya. Banyak anak-anak kecil bahkan
ada pula yang seusianya yang memakai baju teramat kumal dan lusuh. Wajah mereka
gelap tapi ntah kenapa jika Putri cermati baik-baik ada rasa keikhlasan yang
besar dimata-mata itu. Ayah mengajak Putri menyusuri jalan itu. Di kanan kiri
hanya ada selembar kerdus untuk berbaring, bahkan terkena sinar matahari. Ada anak
yang sedang menangis dalam gendongan ibunya, seperti kelaparan dan sang ibu
gelisah setengah mati melihat anaknya. Bapak yang sudah lansia sedang menatap
langit panas seolah memikirkan hal yang sangat berat. Ada rasa iba yang
terbesit di hati Putri. Dia ingat bahwa memiliki uang tiga ribu yang belum
terpakai. Putri melepas genggaman tangan ayah dan langsung berjalan cepat ke
arah anak dan ibu yang sedang dalam kesusahan. Putri memberikannya, terlihat
tulus, tulus sekali. Sang ibu itu hanya tersenyum seolah mengatakan “terimakasih
nak untuk tiga lembar ini. Betapa berartinya”. Putri hanya membalas senyum itu,
manis dan ikhlas sekali. Ayah yang menyaksikan kejadian itu hanya tersenyum
bangga dan menyeka air matanya yang mungkin sudah diujung pelupuk mata. Putri kembali
menggenggam tangan ayahnya, dia berjalan seolah lebih yakin dari sebelumnya. Seolah
ada rasa lega yang luas yang dirasakan, semangat setinggi langit di genggaman
tangan dan senyum itu. Akhirnya mereka meninggalkan tempat itu. Tempat dimana
ada kelegaan hati, dimana masalah terpecahkan dan dimana Putri belajar tentang
satu hal penting yang akan dia terapkan dalam tiap hembusan nafas dan jejak
langkah kedepan.
Malam sudah larut dan Putri juga sudah
kelelahan. Tapi senyum tadi siang masih saja terpancar seterang tadi. Terdengar
ketukan pintu..
“Putri, sudah tidur sayang?” Ayah memanggil
dari luar.
“Belum ayah, masuk saja”
Ayah masuk ke kamarnya dan duduk disebelah
Putri di kasur ungu bergambar hello kitty itu.
“Bagaimana sayang? Sudah mengertikah tentang
hari ini?
Putri hanya mengangguk, mantap seklali anggukan
itu,
“Nak, jangan pernah lihat keatas jika sedang
membicarakan kekayaan, uang, dan harta benda berharga, tetapi lihatlah kebawah.
Lihat bagaimana mereka yang dibawah betul-betul menghargainya bukan bagaimana
yang diatas menikmatinya”
“Iya ayah. Putri mengerti sekarang. Terimkasih ayah
dan maafkan soal sikap putri tadi pagi ayah.”
Ayah memeluk putri dan mencium kepalanya. Seolah
itu mewakilkan semua jawabannya.
jangan
pernah lihat keatas jika sedang membicarakan kekayaan, uang, dan harta benda
berharga, tetapi lihatlah kebawah. Lihat bagaimana mereka yang dibawah
betul-betul menghargainya bukan bagaimana yang diatas menikmatinya J