Jumat, 18 Januari 2013

Manusia Tak Berperasa

Diposting oleh Unknown di 00.25 0 komentar

Manusia Tak Berperasa
Afdholifah Ainunia Hago

Hendak ku berlari sekencang secepat angin
Mencari danau kesunyian di tengah padang kekeringan
Hendak ku daki gunung penembus langit
Mencari tempat kosong untuk berteriak
Hendak ku temui Dia yang satu-satunya
Bertanya kenapa harus ada hujan jika ingin melihat pelangi

Berat seberat ini jika harus merasa sendiri
Ingin berbagi tapi tak ada yang mengerti
Apakah engkau pikirkan apa yang sedang kupikirkan?
Tak sejalan membuat hati pedih perih
Apakah engkau merasakan apa yang aku rasa?
Tak serasa membuat jiwa lara merana

Ingin kutinggal dalam hati dan pikiranmu
Utarakan apa yang ada dibenakku
Sesungguhnya mata bertemu mata membuatku lelah untuk berbicara
Serasa tak ada habis kata yang harus ku kata

Saling berucap membuat lidah makin sakit
Saling bertatap ganas membuat hati makin tak berani
Saling adu suara membuat jiwa berloncat setengah mati

Air bening yang hendak mengalir
Kutahan dengan sisa kekuatan berarti
Diri sendiri bersumpah atas hati dan jiwa untuk lebih kuat dari ini

Oh manusia tak berperasa
Beri aku cara untuk membuatmu berperasa tentang kita yang selalu beradu kata


Kamis, 17 Januari 2013

Rupiah Di Kantongku

Diposting oleh Unknown di 21.09 0 komentar

Rupiah di Kantongku
Afdholifah Ainunia Hago

Pagi itu, suasana bisa diajak becerita. Indahnya langit biru tanpa noda hitam diatasnya. Riangnya burung-burung itu bernyanyi, semilir angin pagi yang menenangkan, butiran embun pagi yang menyejukkan, melengkapi siapapun yang ingin mengawali untuk menulis cerita hari  ini.
Tak terkeculai, gadis kecil bersenyum manis beraliran kekuatan magis ini. Mulai membuka mata menyambut hangat mentari pagi dan mengucapkan selamat pagi pada cuaca yang mendukungnya hari ini. Beranjak dari tempat tidur kemudian melangkahkan kaki dan bersiap memperindah dan mempercantik diri sebelum ilmu menyapanya di bangunan kokoh tempat dia mencari. Cukuplah satu jam untuk melakukannya, toh ini bukan kontes kecantikan yang butuh ribuan detik untuk menyelesaikannya. Sedikit polesan bedak, pelembut bibir untuk memaniskan senyumnya yang memang sudah manis, dan wewangian yang menambah semangat.
“Selamat pagi ayah, bunda, dan adik kecil” sapanya riang.
“Selamat pagi sayang, ayo duduk sini. Bunda sudah menyipkan roti dengan selai coklat kesukaanmu” jawab sang bunda, lembut.
“Terimakasih Bunda”
Sarapan itu berlangsung diam. Ya mungkin saja memang tak ada hal yang perlu dibicarakan. Cuma ada ayah yang kepalanya sudah diisi dengan berita hangat pagi tak kalah hangat kopi buatan bunda yang sudah mengisi perutnya. Cuma ada bunda yang sibuk mengepang rambut  lucu adik kecil ini. Dan cum ada aku dengan roti coklatku. Dan selesai, kegiatan saling sibuk di  meja makan itu selesai.
“Ayah, hari ini ayah tak perlu untuk mengantar. Ada Lili yang mau datang menjemput dengan Beat-nya. Ayah mengantarkan Tiara saja” Kata Putri sembari merapikan tas dan pakaiannya.
“Baiklah kalau begitu. Oya ini uang jajanmu”
Menerima kemudian menatap 3 lembaran uang yang ada ditangannya. “Ayah, kenapa Cuma 3 lembar  patimura?”
“Loh, bukannya dari dulu juga sudah seperti itu?”
“Tapi ayah, Putri kan sudah kelas 3 SMP. Masa dari dulu sampai sekarang tidak berubah jumlah. Semakin banyak jajan yang harus dicoba. Dan apa 3 lembar ini cukup ayah?
“Lupa ya sayang? Makanlah  makanan yang memang dibutuhkan perutmu bukan memberatkan perutmu.”
Piiip piippp. Suara bel sepeda motor terdengar jelas. Itu Lili yang akan datang menjemput Putri.
“Ahh Ayah. Selalu saja berkata seperti itu. Putri samapi menghafalnya. Yang seharusnya berada di dalam kepala jadi dihafal luar kepala. Putri berangkat dulu”
“Hati-hati ya sayang” kata bunda yang sedari tadi diam dan hanya menyaksikan.
Karena kesal hanya diberi 3 lembar patimura di awal kelas 3 SMPnya Putripun berangkat tanpa mengucap salam seperti biasa. Dan Ayah dan Bundanya Cuma bisa menggelengkan kepala sambil menatap Putri yang mulai hilang dari pandangan.


Saat berada dalam perjalanan ke sekolah, Lili dan Putri tak saling mengeluarkan suara. Ya Lili sudah mengenal betul Putri. Dia anak yang periang dan lumayan cerewet. Jadi jika dia tidak berbica saat bertemu Lili tandanya masalah ada di kepalanya dan menguci rapat mulutnya untuk berbicara sebab hatinya sedang tidak dalam kondisi riang. Lili sudah bersahabat dengan Putri sejak SD. Entah takdir atau bagaimana semasa SD mereka selalu sekelas. Dulu Lili tinggal di sebelah rumah Putri. Tapi semenjak ayah Lili meninggal, Ibunya tak sanggup untuk membayar kontrakan rumah sebesar yang mereka tempati dulu. Akhirnya mereka pindah ke rumah kontrakan yang lebih kecil yang muat untuk mereka berdua. Ya Lili adalah anak tunggal jadi sekarang dia hanya tinggal bersama ibunya.
Lili tak tahan jika tak berbicara dan bertanya pada Putri sebab apa dia tidak seriang pagi kemarin.
“Put, kenapa sih? Kok diem banget? Kita kayak lagi jalan lewat kuburan aja” canda Lili.
“Apa sih Lil, gak lucu sumpah. Lagi BM alias Bad Mood.”
“Lagi dapet ya neng?”
“Gak”
“Belum sarapan?”
“Udah”
“Gak berseragam lengkap?”
“Bukan”
“Ya terus kenapa dong Put? Murung amat tu muka kayak tempurung.”
“Emang tempurung bisa murung?”
“Ya gak sih. Ya makanya cerita dong!”
“Ntar aja deh kalo udah disekolah. Nyetir sono yang bener, bawa nyawa ni kamu”
“Aduh Put, aku juga tau lagi put kalo lagi bawa nyawa”
Hari itu diawali dengan pelajaran matematika di kelas IX.1. Lihatlah pemandangan ditiap sudut kelas. Semua sedang serius dan menikmati pelajaran matematika ini. Selain Pak Erfan, guru yang pengajar bidang studi matematika ini mengajar dengan metode santai tapi serius, ini juga merupakan awal di kegiatan KBM. Mungkin semua siswa sedang membara semangatnya untuk belajar lebih giat dan serius karena sekarang sudah duduk dibangku kelas 3.
Tapi tidak untuk seorang Putri. Ternyata bad mood dari rumah itu dibawanya hingga ke sekolah, ruang kelas, pelajaran matematika dan catatannya. Ntah kenapa Putri menganggap kalau itu merupakan masalah serius yang harus dipikirkannya sehingga menyita waktu matematikanya. Lili teman sebangku sekaligus sahabat Putri yang melihat hal itu Cuma bisa terdiam. Dia ingin sekali bertanya, tetapi  mengingat sekarang bukanlah waktu yang tepat diapun menahannya.
***
Tibalah waktu istirahat. Lili yang sedari tadi sudah menahan rasa penasarannya semakin tidak sabar untuk bertanya pada Putri.
“Jeng jeng jeng, dan inilah waktu yang tepat” kata Lili saat mereka sudah mulai duduk di meja kantin.
“Kumat deh si Lili”
“Cerita dong Put soal masalah tadi pagi”
“Nih, ini nih masalahnya!” Putri memperlihatkan uang yang tadi pagi diberi oleh Ayahnya.
“Hah? Uang ini penyebab masalhmu? Memangnya apa salah uang ini Put?”Lili kebingungan.
“Bayangin deh Lil, aku udah kelas 3 tapi nilai rupiah dikantongku ini tetap saja tiga ribu rupiah. Tiga ribu rupiah Lil. Mau makan apa aku?”
“Ohh, jadi itu masalahnya. Bukankah ayahmu selalu mengatakan makanlah.............”
“Makanan yang memang dibutuhkan perutmu bukan yang memberatkan perutmu” Putri menyambung kata-kata Lili yang sudah bisa ditebak apa sambungan dari kata-katanya.
“Nah itu kamu tau. Terus kenapa masih ditekuku mukanya?
“Lili sayang, tiga ribu itu tidak cukup. Lihat deh anak-anak lain. Uang saku mereka sepuluh ribu, dua puluh ribu. Nah aku? Tiga ribu.”
“Tapi uang jajanku juga hanya........”
“Lima ribu rupiah. Dan itu sangatlah lumayan” Putri menyela lagi perkataan Lili.
“Hemm. Sudahlah Put. Mungkin Ayahmu memang sedang tidak punya uang. Atau mungkin belum saatnya untuk menaikkan nilai uang sakumu. Nikmati saja ya yang sudah diberi. Toh perutmu masih bisa terisi.”
Krriiing krriing. Bel tanda masuk pun berbunyi. Tanpa panjang kata Lili dan Putripun meninggalkan kantin beriringan. Saking asyiknya berbicara mereka meninggalkan kantin tanpa mengisi perut. Suara drum perut semakin heboh terdengar saat jam-jam terakhir sekolah.


Rupanya ayah melihat kekecewaan itu dihati Putri. Beliau sudah menyadari bahwa pasti gara-gara tadi pagilah yang membuat siang ini terasa begitu gelap bagi Putri. Dalam perjalanan pulang sekolah di atas seperda motor...
“Putri....”
“Iya ayah” menjawab tanpa menoleh.
“Ayah mau mengajakmu ke suatu tempat. Jadi tolong sms ke bunda bahwa kita akan pulang terlambat ya sayang”
“Kita mau kemana ayah?”
“Sudah, ikut saja ya sayang.” Ayah menjawab dengan tersenyum ke arah Putri.
Hanya 30 menit perjalanan, mereka tiba. Putri terheran-heran melihat pemandangan di depannya. Banyak anak-anak kecil bahkan ada pula yang seusianya yang memakai baju teramat kumal dan lusuh. Wajah mereka gelap tapi ntah kenapa jika Putri cermati baik-baik ada rasa keikhlasan yang besar dimata-mata itu. Ayah mengajak Putri menyusuri jalan itu. Di kanan kiri hanya ada selembar kerdus untuk berbaring, bahkan terkena sinar matahari. Ada anak yang sedang menangis dalam gendongan ibunya, seperti kelaparan dan sang ibu gelisah setengah mati melihat anaknya. Bapak yang sudah lansia sedang menatap langit panas seolah memikirkan hal yang sangat berat. Ada rasa iba yang terbesit di hati Putri. Dia ingat bahwa memiliki uang tiga ribu yang belum terpakai. Putri melepas genggaman tangan ayah dan langsung berjalan cepat ke arah anak dan ibu yang sedang dalam kesusahan. Putri memberikannya, terlihat tulus, tulus sekali. Sang ibu itu hanya tersenyum seolah mengatakan “terimakasih nak untuk tiga lembar ini. Betapa berartinya”. Putri hanya membalas senyum itu, manis dan ikhlas sekali. Ayah yang menyaksikan kejadian itu hanya tersenyum bangga dan menyeka air matanya yang mungkin sudah diujung pelupuk mata. Putri kembali menggenggam tangan ayahnya, dia berjalan seolah lebih yakin dari sebelumnya. Seolah ada rasa lega yang luas yang dirasakan, semangat setinggi langit di genggaman tangan dan senyum itu. Akhirnya mereka meninggalkan tempat itu. Tempat dimana ada kelegaan hati, dimana masalah terpecahkan dan dimana Putri belajar tentang satu hal penting yang akan dia terapkan dalam tiap hembusan nafas dan jejak langkah kedepan.


Malam sudah larut dan Putri juga sudah kelelahan. Tapi senyum tadi siang masih saja terpancar seterang tadi. Terdengar ketukan pintu..
“Putri, sudah tidur sayang?” Ayah memanggil dari luar.
“Belum ayah, masuk saja”
Ayah masuk ke kamarnya dan duduk disebelah Putri di kasur ungu bergambar hello kitty itu.
“Bagaimana sayang? Sudah mengertikah tentang hari ini?
Putri hanya mengangguk, mantap seklali anggukan itu,
“Nak, jangan pernah lihat keatas jika sedang membicarakan kekayaan, uang, dan harta benda berharga, tetapi lihatlah kebawah. Lihat bagaimana mereka yang dibawah betul-betul menghargainya bukan bagaimana yang diatas menikmatinya”
“Iya ayah. Putri mengerti sekarang. Terimkasih ayah dan maafkan soal sikap putri tadi pagi ayah.”
Ayah memeluk putri dan mencium kepalanya. Seolah itu mewakilkan semua jawabannya.



jangan pernah lihat keatas jika sedang membicarakan kekayaan, uang, dan harta benda berharga, tetapi lihatlah kebawah. Lihat bagaimana mereka yang dibawah betul-betul menghargainya bukan bagaimana yang diatas menikmatinya J



Kamis, 10 Januari 2013

Atambua.......

Diposting oleh Unknown di 04.25 0 komentar

SELAMAT TINGGAL
ATAMBUA KECIL NAN INDAH

PROLOG

            Mungkin bagi sebagian orang cinta terhadap kota yang dia tinggali itu tidak terlalu penting, karena mungkin kota hanya sebagai tempat untuk melakukan sebagain aktivitas dan hanya sebagai sarana tempat. Tapi, bagi seorang Afi kota yang dia tinggali bertahun-tahun lamanya itu punya cerita sendiri untuknya. Meskipun kota tercintanya itu ada di pulau yang mungkin tidak dikenali banyak orang, kota itu tetap mempunya arti tersendiri. Kisah sedih dan senang yang dilewatinya di kota itu, janji yang dia buat, orang-orang yang menyayanginya,  membuatnya mungkin tak ingin pindah apalagi diharuskan bersekolah di luar dari kota tercintanya.
            Tapi, takdir berkata lain. Saat Afi diharuskan orang tuanya untuk bersekolah di Malang, Jawa Timur, diapun bimbang. Kecintaannya terhadap kota itu dan sedikit terbesit niat di dalam hati untuk mencari pengalaman dengan bersekolah di tanah orang membuatnya berada dalam dua pilihan. Dua pilihan yang sulit untuk diputuskan oleh seorang Afi.




            Pagi itu cuacanya indah sekali. Matahari yang bersinar terang, burung-burung yang berkicau, angin pagi yang menyegarkan membuatku bersemangat sekali untuk pergi bersekolah. Dengan pakaian puih biru, dasi, dan tas punggung yang ku kenakan, ku langkahkan kaki menuju keluar kamar. Ku lihat mama, aba(panggilan untuk seorang bapak), dan adikku, Tiara sudah berada di meja makan untuk menikmati sarapan pagi. Aku pun ikut duduk dan menikmati sarapan pagi. Setelah selesai, aku aba dan tiara pamit untuk berangkat. Hari ini aba akan mengantarku dan Tiara karena katanya hari ini tidak terlalu sibuk. Aku pun berpamitan kepada mama untuk berangkat.
            Sekolahku cukup jauh, membutuhkan waktu setengah jam untuk sampai disana. Selama perjalanan aku menikmati pemandangan Atambua, sebuah kota di Provinsi kupan di Pulau NTT, kota kecil yang indah tempat segala sesuatu terjadi tentang diriku. Senang susah, ada di Atambua. Dalam perjalanan ku, ku lihat ada segerombolan anak SD yang sedang berjalan bersama menuju sekolah. Pakaian yang rapi dan hanya membawa tas samping, bahkan ku lihat ada anak yang tidak membawa tas, hanya membawa satu buah buku dan pensil. Di pemandangan lain, ku lihat ada seorang nenek yang sudah membawa tumpukan sayur yang dibungkus dengan kain yang cukup lebar untuk di jual dari satu rumah ke rumah lain. Di arah lain aku lihat ada seorang anak muda seumuranku membawa karung dan sabit untuk mencari rumput untuk memberi makan sapi-sapinya. Dalam hati aku berpikir, harusnya dia bersekolah bukan bekerja seperti itu. Bagaimana dengan masa depannya nanti. Di arah lainnnya lagi, adan seoarang anak perempuan yang mungkin satu tahun lebih muda dariku membawa ember dan berjalan dari satu rumah ke rumah lain. Pakaiiannya kumal, dan rambutnya tak beraturan. Biasanya jika ada anak yang membawa ember, berarti dia sedang mencari makanan sisa untuk diberi makan kepada babi-babi yang mereka punya.

            Yaa, mayoritas di kota kecilku ini memang bukanlah Islam. Tapi jangan salah, perbedaan yang ada di Kotaku ini tak pernah jadi masalah. Kami menghargai satu sama lain. Saling mengerti satu sama lain dalam segala hal. Ku hirup sekali lagi udara di kota kecil ini. Segar dan menyegarkan. Kotaku memang tidak sesejuk Malang, karena kotaku ini cukup dekat dengan hamparan laut biru yang sangat indah yang terkadang membuat kotaku ini menjadi sangat panas di siang hari. Tapi itulah yang menjadi ciri khas kotaku, meski panas kami punya asset indah, hamparan laut biru.
            Tak terasa akupun tiba di sekolahku, SMPN 1 Atambua. Salah satu SMP terfavorit di Atambua. Ku salim tangan kanan aba dan pamit untuk mencari ilmu. Ku langkahkan kaki menuju gerbang sekolah. Terlihat sudah banyak murid yang berdatangan. 3 Tahun belajar di sekolah ini, rasanya tidak cukup. Sekolah dan isinya membuatku selalu ingin berada di sekolah. Guru-guru yang ramah, teman-teman yang ada di saat suka dan duka, kelas yang menjadi saksi bisu pencarian ilmu, dan lainnya. Meski sekolahku tidak sebagus sekolah-sekolah di luar, tapi murid-murid disini juga tak kalah pintar dan kreativitasnya.
            Hari ini tidak aka nada proses pembelajaran untuk siswa kelass tiga, karena Ujian Nasional telag dilewati tinggal menunggu hasilnya saja. Aku dan teman-teman kelaspun duduk dan bercertita. Tertawa ketika mengingat semua kejadian lucu yang kami lewati dulu, menangis ketika bercertita kembali tentang semua pengalaman sedih kami yang terjadi di kelas, ahh SMPku, penuh sekali dengan ribuan kisah yang tak bisa ku ceritakan satu persatu. Tiba-tiba saja panggilan dari kepala sekolah menyuruh seluruh kelas tiga untuk berbarispun mengagetkanku. Ternyata ada pengumuman, dua hari lagi kami akan mendengar hasil dari jerih payah kami selama bertahun-tahun. Hari itu juga diadakan acara perpisahan untuk kami. Ada yang membacakan puisi yang membuat aku menangis, ada yang menyumbangkan lagu untuk kelas tiga, ada pidato dari guru yang memotivasi kami untu terus maju, dan diakhiri dengan acara bersalam-salaman untuk meminta maaf dan berterimakasih kepada guru-guru dan adik-adik kelas atas semua perbuatan selama ini.

2 hari kemudian
LULUS !!

            Tangis dan tawa bercampur dihari itu. Bagaimana tidak, akhirnya kepala sekolah mengumumkan bahwa di sekolahku 100% LULUS. Terikan gembira pun terdengar di sudut-sudut sekolah yang hanya akan tinggal kenangan. Betapa bahagianya aku, karena usahaku selama ini membuahkan hasil yang memuaskan.
            Saat tiba di rumah, aba dan mama memberi ucapan selamat kepadaku. Begitu juga para tetangga yang sudah kuanggap keluarga, mereka berharap aku bisa menjadi yang terbaik untuk orang-orang yang menyayangiku. Tapi, hari itu juga kebimbangan datang. Mama dan aba-aba yang tiba-tiba mengajakku ke kamar untuk mengobrol serius membuatku sedikit takut.

Malang.
Aku akan bersekolah di Malang.

            Kaget. Benar-benar kaget. Mama memintaku untuk bersekolah di Malang. Mama menginginkan aku untuk bisa bersekolah di sekolah yang bagus, dan mama menginginkan aku untuk bisa hidup mandiri. Bayangkan, aku akan meninggalkan tanah kelahiranku, kota yang paling aku cintai, kota yang penuh dengan tawa dan tangis. Sungguh awalnya aku menolak karena aku sudah berjanji dengan teman-teman kelasku untuk bersekolah di tempat yang sama di Atambua. Tapi, dalam hati aku juga ingin bersekolah di sekolah yang bagus dan mencari pengalaman, dan bisa menjadi mandiri. Bingung, sungguh-sungguh bingung. Tapi setelah ku pikir-pikir mungkin tidak ada salahnya aku bersekolah di Malang. Toh, aku hanya akan meninggalkan kota kecilku ini hanya untuk sementara. Dan aku juga berniat, jika aku sudah sukses nanti akan ku bangun Atambua menjadi kota yang maju dan di kenal banyak orang. Tak ada salahnya aku mencoba.
            Hari-hari terakhir di Atambua, aku habiskan dengan orang-orang yang akan kutinggal dalam waktu yang lama. Aku sering ke sekolah hanya untuk bertemu dengan guru-guru dan meminta nasihat mereka. Aku sering pergi dan menghabiskan waktu dengan teman-teman yang aku sayangi. Aku sering pergi berjalan-jalan keliling Atambua untuk mengingat setiap inci dari kota kecilku itu. Janjiku, jika aku sudah sukses nanti, aku akan menjadikan Atambua kota yang akan dicintai setiap orang dan akan dibanggakan oleh setiap orang. Selamat tinggal Atambua, aku tak akan melupakanmu dan isinya.

 


EPILOG
Memang tidak mudah untuk meninggalkan kota yang begitu dicintai oleh seorang Afi. Apalagi kota itu penuh dengan kenangan sedih dan senangnya. Tapi dengan niat yang kuat untuk belajar mencari ilmu dan bertekad untuk mengubah Atambua menjadi lebih baik, Afi pun berangkat. Kota yang indah, kota yang penuh kenangan, kota kecil yang akan selalu di Ingat oleh seorang Afi.

............

Diposting oleh Unknown di 04.05 0 komentar
……………

Bahkan ketika sudah penuh isi hati dan kepala ini, tak juga ingin aku membaginya pada siapapun kecuali Tuhan yang memang mendengar tanpa membantah. Entah kenapa sore menjelang malam ini begitu suram dan menyuramkan dunia cerah yang baru saja kubangun dengannya, bahkan mungkin ingin aku bakar hingga tak lagi menjadi salah satu memori yang harus kukenang lagi. Gerak-gerik tubuh putih manis tertutup helaian kain menyentuh Tuhan itu membuatku berpikir tentang apa yang kuperbuat. Kuirirs hatinya kah? Sedalam itukah? Hingga petir menyambar saat ku ucap sepatah kata tak bermakna yang dikenal basi? Tapi mungkin ini bukan pertama yang menjadi suram, yang kesekian kalinya dan kesekian kalinya aku tak mengetahui penyebabnya. Kekuatan dari dalam selalu membuatku ingin terus berjalan diatas kakiku sendiri. Bukan sombong layak kuat, aku hanya melatih fisik dan batin ini, siapa tau esok dan besok lebih parah bahkan mencapai batas tertinggi untuk tingkat cobaan saat masih bernafas. Andai aku punya dewa dewiku disini, bolehkah aku memeluk dan dipeluk hanya sekedar untuk menahan butiran-butiran bening yang sudah akan terjun bebas dari sepasang mata karya Tuhan yang bahkan sudah diujung. Tuhan memang tak pernah membiarkanku sendiri. Selalu ada bahkan kurasakan genggaman tangan_nya benar-benar menguatkan aku bahkan untuk terbang sekalipun. Sekuat senyum itu hadir dan menyadarkan aku rindu lengkung indah dua makhluk yang kusebut malaikat kasat mata. Adakah teakhir aku merasakannya disini? Di belahan bumi lain nan jauh dari mereka? Terkadang tak bisa kubantah, tanaman yang dirawat dan yang sudah berkembang depan mata akanlah beda. Aku mencoba tak melirik kemudian merasa iri merasakan kastil Puteri negara sebelah yang diisi dengan senyum tanda cawa tanpa butiran bening sepasang mata. Yang keadaanyya tak dapat terkata-katakan. Tak pernah bukan bukan tidak pernah, pernah aku mempertanyakan keadilan, kemudian aku tersadar akan Tuhan yang memperlihatkannya ditiap langkah aku berjalan diatas bumi yang Ia ciptakan dengan sempurnya.



Dia yang merindukan
Dia yang kesepian
Dia yang butuh pelukan seorang IBU

Duhai Sayang

Diposting oleh Unknown di 04.02 0 komentar
Dunia itu sempit, sesempit mataku yang hanya  bisa melihatmu..
Udara itu menyegarkan, sesegar diriku yang penuh akan cintamu..
Matahari itu menghangatkan, sehangat pelukanmu, duhai sayangku..
Ini bukan kata-kata manis sayang, kejujuran..

Bulan itu memang indah, tapi tak seindah kedua pasang matamu..
Bintang itu berkilauan,  tapi tak menawan layaknya senyummu..
Sudah kau datang dari  pandangan yang tak mampu ku jangkau..
Sudah kau datang dari tempat yang tak pernah ku tau namanya..
Sudah kau datang dengan membawa sejuta kebahagiaan seperti di negri dongeng..

Tapii, apakah itu kekal duhai sayang?
Apakah itu akan kau jaga hingga nanti?
Apakah akan kau ambil kembali yang sudah kau beri, duhai sayang?

Tapi, ku dengar dari mereka, ini akan menyakitkan jika tidak dijaga..
Ini akan menyakitkan jika tidak dirwat..
Ini akan menimbulkan luka jika tidak berhati-hati..
Maukah kau menjaga perasaan suci yang terkenal dengan sebutan CINTA??
Maukah kau merawatnya bersamaku, duhai sayang??

Mungkin orang dewasa akan tertawa jika mengetahui semua yang kita lalui..
Sepasang  remaja bodoh yang mungkin dibuai bualan-bualan cinta ..
Aku tak peduli, aku mencintaimu..

Tetaplah disini, di hatiku duhai sayang..
Tetaplah disini, dipikiranku duhai sayang..
Tetaplah disinu, dijiwaku duhai sayang..
Tetaplah disni,,
Dan selamanyalah disni ..
Denganku ..
Duhai sayang ..


 

writing is beauty Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea